Rawa Jombor dan Hamparan Bambu Karambanya |
Dan, saya memilih untuk sekedar berwisata alam.
Datang pagi-pagi ke Rawa Jombor sendirian tanpa direncanakan setelah mengantarkan paman ke Bandara Adi Sucipto. “Mumpung Minggu pagi” menjadi motivasi untuk ‘mblandhang’ ke sana tanpa basa-basi. Ini bisa dianggap sebagai lampah-lampah ra jelas, tanpa rencana tanpa alokasi. Sekitar 45 menit dari Yogyakarta saya tempuh pada jarak 25 km, santai.
Sesampai di gapura sekaligus tempat retribusi, saya tak perlu membayar. Saya cukup mengeluarkan senyum murah tebar pesona, langsung dipersilakan masuk. Tentunya dengan sedikit tancap gas. (Maafkan saya Pemda Klaten, saya tidak ikut menyumbang PAD kabupaten anda, :P). Andaikan saya patuh, saya harus membayar retribusi sekitar 4.000 – 5.000 rupiah. Hanya saja, menurut saya ini overcosting. Kawasan Rawa Jombor tidak terlalu dirawat dan disediakan fasilitas umum. Sungguh sangat disayangkan.
Mengelilingi Rawa Jombor lantas menjadi pilihan saya. Itu cukup mudah dan ramah. Terdapat jalan di sepanjang tepian rawa, mengitari sekitar 7,5 kilometer jauhnya. Jalan itu tidak beraspal mulus, tapi cukuplah nyaman untuk menikmati suasana di pagi yang cerah. Bagi Anda yang ingin bersepeda ria mengolah raga, pilihan berkeliling sangat disarankan. Tampak beberapa orang tekun mengayuh sepedanya. Mereka sepertinya berasal dari kota dilihat dari tipikalnya. Santai menjalani pagi Rawa Jombor, melepaskan penat yang mereka bawa dari kota.
Demikian juga dengan saya. Escape from Jogja membuang lelah karena aktivitas selama sepekan yang membosankan. Saya benar-benar terhibur dengan sajian alam Rawa Jombor beserta dinamikanya.
Panorama Rawa Jombor dengan Ladang Pertaniannya |
Kondisi Rawa Jombor tidaklah monoton, tidak hanya berkutat pada kubangan air yang luas saja. Ia malah lebih kaya oleh konten-konten yang memenuhi rawa. Enceng gondok yang bebas tumbuh liar, lahan pertanian warga di tepiannya, karamba milik masyarakat di tengahnya, warung-warung apung untuk usaha serta tanah endapan dari sungai yang mampir padanya. Mungkin sebagian pihak, konten-konten itu menyebalkan, mengganggu volume tampungan air Rawa Jombor. Terlebih yang memfungsikannya sebagai sumber irigasi air untuk pertanian. Tapi, bagi saya, Rawa Jombor yang seperti demikian telah nyata menjadi ’takdirnya’. Ia telah cukup eksotis untuk dibidik mata dan diabadikan kamera.
Dua ibu renta bersemangat ke ladangnya di tepian Rawa Jombor |
Kubangan air yang masih tersisa |
Enceng gondok di kejauhan |
Karamba dan ‘Hamparan Bambu’
Geliat masyarakat setempat tak boleh diabaikan eksistensinya. Ini bisa sebagai pemerkaya makna kehadiran kita di sana. Rawa Jombor menjadi tempat beradanya karamba-karamba masyarakat yang begitu banyaknya. Sehingga menutupi sepanjang sisi di selatan dan timurnya. Karamba-karamba ini disekat-sekat oleh pagar-pagar bambu dibagi sesuai dengan hak kepemilikan ruangnya. Realitas ini menjadikannya, dalam bingkai panorama, ia nampak seperti kubangan air yang secara kodrat ditumbuhi oleh hamparan bambu-bambu yang begitu luasnya. Padahal, itu adalah rekayasa manusia.
Ada dinamika yang menggugah rasa. Saya menyaksikan seorang Bapak pergi bersemangat ke ruang karambanya. Dia sekedar menggunakan ‘gethek’. Sederhana tapi itulah yang paling efisien dan efektif. Ia sampai di pintu karamba. Lalu, masuklah ia ke karambanya, memberi makan kepada para penghuninya seperti nila, bawal, gurami dan sejenisnya. Dia pasti menaruh harapan besar pada piaraannya sebagai bekal ia bertahan dalam kehidupannya, sembari mengintip dia mengumpulkan modal untuk berinvestasi dunia dan akhirat. Maksudnya, mengumpulkan uang membeli aset seperti motor, membiayai pendidikan anak, dan atau pergi haji ke Mekkah. Karamba itu menjadi cerita tentang sandaran ekonomi baginya dan keluarganya.
Seorang Bapak dan anaknya. Potret optimis realitas warga setempat |
Bapak itu memunguti enceng gondok yang dirasa mengganggu keberlangsungan karambanya. Ia bawa keluar dan memasukkannya ke dalam keranjang di sampingnya. Mungkin, enceng gondok itu akan dibawanya pulang untuk pakan ternak atau untuk diolah menjadi kerajinan atau juga hanya sekedar dibuang, disisihkan. Saya pun tidak cukup tahu, hanya berprasangka. Lalu, ia keluar, menyapa rekan tetangganya yang juga sama-sama melakukan aktivitas sepertinya. Ia kembali mendarat dengan muka yang ceria dan bersahaja, langsung disambut anak SD nya yang riang dan setia menunggu di tepian rawa. Sesungguhnya, ada puluhan Bapak dan pemuda lainnya yang seperti dia di Rawa Jombor pada pagi itu. Semua bersemangat menyongsong pagi meraih rezeki dan menjaga silaturahmi.
Hamparan karamba dan penghuni di dalamnya. Rutinitas hidup masyarakat |
Tidak sekedar memberi makan piaraan atau mengambil enceng gondok, beraktivitas di karamba bisa jadi sekedar memancing saja. Pemiliknya memancing di karambanya dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan lauknya atau mengambil ikan untuk dijual ke warung apung atau pasar. Namun, bisa jadi ia hanya untuk sekedar relaksasi diri di pagi hari. Sepertinya, Anda bisa turut mengalami sensasi memancing di karamba penduduk. Tentunya dengan menghubungi pemiliknya langsung dan menyetujui term of condition nya. :P
Memancing di tengah Karamba. Geliat warga kala Minggu pagi |
Puas menyesap pagi dengan mendalami aktivitas masyarakat di karamba-karambanya, saya melanjutkan perjalanan lagi. Kali ini saya menyempurnakan putaran berkeliling tepian Rawa Jombor. Rasanya tidak sempurna kalau ke Rawa Jombor tidak mengelilinginya. Tampak di salah satu titik, alat-alat berat sedang mengeruk tanah di Rawa Jombor. Maksudnya adalah untuk normalisasi kawasan Rawa Jombor sebagai daerah penyimpan air. Ini proyek pemerintah, untuk menjamin dan mengendalikan ketersediaan air untuk irigasi pertanian di daerah Klaten dan sekitarnya.
Warung Apung
Kini saya sampai di kawasan warung apung. Artinya, saya sudah hampir melengkapi putaran saya berkeliling di Rawa Jombor. Warung apung ini sangat diandalkan pemerintah daerah dan masyarakat Klaten sebagai destinasi wisata, khususnya wisata kuliner. Keberadaannya sesungguhnya sangat menarik. Meskipun hanya sekedar sebuah bangunan yang mengapung di atas air, tetapi ia tetap memberikan daya tarik tersendiri dengan suasana yang elegan untuk bersantai melepas lelah.
Warung Apung, menghadirkan nuansa kuliner |
Konsep warung apung di Rawa Jombor adalah dengan mengikat beratus-ratus drum kosong kemudian diberi alas kayu dan atap sehingga mirip seperti bangunan semi permanen. Kemudian diapungkan sedikit ke tengah rawa kira-kira 20-30 meter dari tepi rawa. Untuk menuju warung apung, Anda memiliki dua pilihan. Bisa dengan menggunakan rakit atau perahu yang ditarik dengan tali di kedua sisi. Ataupun bisa dengan berjalan melalui jembatan apung yang disediakan.
Di warung apung Rawa Jombor ini, Anda bisa menikmati sensasi memancing. Pengelola warung menyediakan alat untuk memancing beserta umpannya. Bila beruntung anda bisa mendapatkan ikan dalam ukuran besar, tetapi jangan terlalu optimis karena kebanyakan orang yang mencoba hanya mendapatkan ikan yang berukuran kecil. Barangkali ini sebuah strategi agar ikan yang didapat dari karamba masyarakat bisa laku. Alih-alih dengan ikan di kolam warungnya yang hanya dimaksudkan untuk pelengkap nuansa warung apung.
Warung Apung Rawa Jombor berlatar belakang Pegunungan Seribu |
Namun, sesungguhnya saya tidak mampir kesatupun warung apung itu. Saya hanya mengamati dari kejauhan. Saya rasa itu sudah cukup menghibur terlebih harus menyesuaikan maksud jalan-jalan saya yang berkategori ‘lampah-lampah rajelas’ pagi itu :). Bagi Anda yang berkunjung ke sana, tetap disarankan untuk menjajal kuliner warung apungnya. Kata orang, rasanya enak mantap apalagi tergolong segar karena diambil dari sumbernya langsung di rawa. Dan, tentunya demi membantu menggerakkan roda perekonomian masyarakat setempat. Ada hidangan-hidangan lezat kuliner yang bisa dilahap, berupa ikan nila bakar, bawal bakar, lele bakar, udang air tawar, dan masih banyak hidangan ikan air tawar yang dimasak dengan bumbu khas daerah sekitar.
Yang perlu diketahui, di Rawa Jombor tidak melulu rawa, karamba dan warung apungnya. Ada obyek lain yang patut dikunjungi sesuai maksud dan tujuannya, yakni Sendang Bulus Jimbung, Bukit Sidogura, Gua Kendil dan Gua Payung serta Rumah Minangkabau. Paling fenomenal adalah Sendang Bulus Jimbung yang diperuntukkan bagi para ‘ngalap hunter’. Ada seekor bulus yang hidup di sendang, yang dipercaya kalangan tertentu membawa berkah. Percaya tidaknya bukan urusan saya, terserah Anda :P. Bagi Anda yang suka menikmati tradisi perayaan setempat, Anda bisa mengikuti tradisi Syawalan setiap tujuh hari setelah Lebaran. Biasanya sangat meriah dipadati oleh para pengunjung, selain tentunya masyarakat setempat. Tradisi ini didahului kirab dari Sendang Bulus Jimbung dan diakhiri rebutan ketupat di Bukit Sidogura. Menarik sepertinya untuk diikuti.
Mengakses ke Rawa Jombor bukanlah pekerjaan susah. Lewatlah dari jalan lingkar Klaten, sampai menemukan perempatan yang memiliki plang arah Rawa Jombor. Jelas terpampang. Sekitar 6 km dari Klaten. Di tengah perjalanan, anda akan menikmati khasanah panorama sawah hijau membentang luas dan alam pedesaan lainnya yang khas. Menggunakan kendaraan pribadi lebih direkomendasikan karena angkutan umum jarang menuju ke sana. Maka, sempatkanlah Anda beserta orang tercinta untuk berekreasi ke Rawa Jombor. Sajian pemandangan yang indah beserta kuliner warung apung dan religi ngalap berkah dibumbui romantika hidup bersahaja masyarakat di karambanya, menjadi kepuasan diri saat berkunjung ke Rawa Jombor. Dan, pagi hari ialah lebih baik.
Panorama Rawa Jombor dan Karamba-karambanya |