Tulisan ini melanjutkan cerita perjalanan kemarin saat ke Pacitan..
Setelah Pantai Klayar di cerita sebelumnya, saatnya sekarang memulainya dari Pantai Watukarung.
Pantai Watukarung terletak di sebelah timur Pantai Klayar, sekitar 45 menit menempuhnya dengan motor. Pantai ini dekat dengan pemukiman penduduk, hanya berjarak tak sampai seratus meter. Desa Watukarung, Kecamatan Pringkuku nama desa itu. Desa Watukarung memberikan keunikan tersendiri bagi pantai ini. Desa tersebut tertata dengan rapi, bersih. Jalanan desa mulus dan saling bersimpang-simpang ria. Sepertinya kawasan ini diperuntukkan sebagai desa wisata pantai.
Eksotisme Pantai Watukarung.. @iqbal_kautsar |
Putihnya hamparan pasir Pantai Watukarung dengan tenangnya ombak.. @iqbal_kautsar |
Penghujung setapak tepat mengantarkan kami di bibir pantai. Pasir putih langsung menyambut kami. Batu karang pun di kejauhan menjadi hiasan pantai sekaligus pelindung pantai dari ombak-ombak Laut Selatan yang terkenal ganas. Tak heran satu keluarga-yang kami saksikan- nyaman menceburkan diri mereka ke laut, meski terik matahari membakar kulit. Kami hanya memandangi mereka, ikut senang rasanya.
Kami juga ‘dihibur’ suara percakapan masyarakat setempat. Kedengarannya berbincang tentang pembangunan Kawasan Pantai Watukarung. Tak menyimpang memang, jikalau Anda lekas ke Pantai Watukarung sekarang. Anda pasti menyaksikan bagaimana kawasan Pantai Watukarung sedang dibangun. Tak hanya pemerintah yang serius menggarapnya, swasta pun demikian. Bahkan, menurut Antaranews, ternyata lahan-lahan ini di pantai ini juga diminati investor asing. Mungkin, suatu saat nanti, kawasan ini menjadi tempat wisata internasional. Semoga.
Tak jauh dari pantai Watukarung, dari tempat kami berpijak, sembari meneruskan perjalanan, di sebelah timurnya terdapat pelabuhan nelayan Watukarung. Saat itu sepi aktivitas, mungkin puasa penyebabnya atau juga karena menjelang lebaran. Kami pun tancap gas menuju Pantai Srau, ke timur lagi.
Ternyata, kami baru sadar! Jalan yang kami tempuh dari tadi adalah jalan tembus. Pantas saja, jalannya jelek yang dari tadi menjadi sasaran umpatan kami. Memang, jika Anda memulai perjalanan dari barat, Pemerintah belum menyediakan infrastruktur yang bagus. Idealnya perjalanan Anda dimulai dari arah timur. Dari jalan utama menuju Pacitan. Namun, kami tetap puas. Itu memang konsekuensi bagi kami yang beperjalanan tanpa peta sekalipun. Ya inilah jalan-jalan ga jelas. CLR di hati kami!
Karena melalui jalan yang ‘resmi’, perjalanan dari pantai Watukarung menuju Pantai Srau mulus tanpa hambatan. Meski demikian, mantapnya kelak-kelok jalan tak berkurang. Akhrinya, tibalah di gerbang Pantai Srau. Kami membayar retribusi 2500 per orang kalau tak salah, ditambah satu motor 1000. Senangnya, kami berkontribusi juga pada PAD Pacitan. Kami akhirnya membayar retribusi tempat wisata setelah dari tadi terus-terusan gratis memasuki pantai.
Menjelajahi Pantai Srau, anda dihibur pemandangan hijau pohon kelapa yang berderet panjang. Andaikan saat itu bukan bulan puasa, pasti akan lebih nikmat menikmati segarnya air kelapa. Yang menarik di pantai Srau ini, tidak hanya satu pantai yang ditawarkan, tetapi ada beberapa pantai. Pantai-pantai itu hanya dibatasi dengan bukit-bukit karang. Menyenangkannya, akses jalan menuju satu pantai ke pantai lain sudah beraspal mulus.
Pantai-pantai kecil di Pantai Srau. @iqbal_kautsar |
Bukit di atas pantai kecil kompleks Srau. @iqbal_kautsar |
Hijaunya nyiur-nyiur di Pulau Srau. @iqbal_kautsar |
Pantai utama Srau.. Sayang kotor penuh sampah. @iqbal_kautsar |
Kami sempat beristirahat cukup lama di gubuk-gubuk kecil yang berjejeran di pinggir pantai. Angin yang semilir berhembus menambah rasa istirahat makin terpuaskan. Mungkin, kalo anda berkunjung saat hari libur, gubuk-gubuk kecil ini adalah tempat yang pas untuk bermesraan dan juga bermesuman. Gubuk-gubuk itu adalah ‘surga’ bagi yang meminatinya. Namun, kami tak banyak menjumpai pemandangan ‘elok’ seperti itu.
Narsis ala Pacitan: Pantai Teleng Ria.. |
Waktu makin mendekati sore, kami harus melanjutkan perjalanan! Saatnya kami menuju Kota Pacitan, menuju pusat peradaban Pacitan. Sebelum memasuki Kota Pacitan, kami menyempatkan mampir dulu ke Pantai Teleng Ria. Kami lantas teringat dengan baliho di perbatasan Wonogiri (Jawa Tengah) – Pacitan (Jawa Timur). “Anda belum ke Pacitan, sebelum mampir ke Pantai Teleng Ria”. Membuktikan adagium narsis berbau agak sombong itu, kami harus merogoh kocek 5000 per orang dan 2000 untuk sepeda motor. Memang cukup mahal, tetapi tak ada salahnya mencoba. Urusan puas atau menyesal adalah urusan berikutnya.
Di pantai Teleng Ria, anda menjumpai sebuah pantai yang sangat luas dengan hamparan pasir coklat, bukan putih tapi tidak sampai kelabu. Pantai ini merupakan sebuah teluk yang juga merupakan persinggungan Kota Pacitan dengan Samudera Hindia. Teluk ini diapit bukit kapur yang panjang di kedua sisinya. Panorama ini menakjubkan ketika anda membayangkannya dengan pantai-pantai yang digunakan berjemur. Cocok sekali. Ombak ramah dan hamparan pasir yang sangat luas dan datar. Tinggal dilengkapi tempat-tempat berjemur dengan turis-turis asing berpakaian minim.
Pantai Teleng Ria, dari kejauhan tampak bukit "pintu gerbang" Pacitan. @iqbal_kautsar |
Pantai Teleng Ria yang terhampar luas dan landai. @iqbal_kautsar |
Pantai Teleng Ria dari sisi barat dekat pelabuhan nelayan.. @iqbal_kautsar |
Pintu Masuk Kecil. @iqbal_kautsar |
Pantai Teleng Ria ini dilengkapi pelabuhan nelayan yang ditempatkan khusus di sisi barat. Juga dilengkapi dengan fasilitas taman hiburan anak-anak, pusat oleh-oleh serta hotel dan kafe pantai. Kalau anda menyusur ke arah timur, anda akan menemukan kebun tanaman-tanaman yang dilindungi pemerintah. Dan, jalan baru saja diaspal, mulus.
Sayangnya pantai ini belum selesai disulap menjadi tempat pariwisata andalan Pacitan. Grand design besar ini masih menjadi idealitas yang membutuhkan banyak tambahan dana. Membutuhkan banyak investasi! Sayangnya, di berbagai sudut, beberapa wahana lapuk termakan zaman. Padahal, kalau grand design besar ini rampung, pantai ini dapat menjadi satu destinasi wisata tersohor, setidaknya di Jawa Timur.
Mendung mulai membayang di angkasa luas. Kami lekas tancap gas ke kota Pacitan. Rasanya kurang lengkap jauh-jauh ke Pacitan tanpa menyambangi kota ibukotanya. Pacitan hanyalah kota kecil, mungkin karena ‘terisolir’ dari pusat-pusat dan jalur-jalur peradaban Jawa. Kami menyempatkan mampir ke Masjid Agung Pacitan. Masjid ini sedang direnovasi. Jika diamati, arsitektur masjid ini sama sekali tidak berbau khas Jawa. Pertanyaan terbersit pada kami, mengapa? Arsitektur lebih seperti masjid-masjid Timur Tengah.
Masjid Agung Pacitan. @iqbal_kautsar |