Hatoyama, PM Jepang yang berani mundur karena gagal |
Sepekan ini, ada dua berita besar tentang pengunduran diri pemimpin negara terkemuka di dunia. Kebetulan, kedua negara itu sama-sama berawalan “J” kalau kita melafalkan dan menuliskan secara Bahasa Indonesia. Kedua negara itu tak lain adalah Jerman dan Jepang.
Yukio Hatoyama, Perdana Menteri Jepang, mundur setelah popularitasnya menurun drastis akibat keputusannya mempertahankan pangkalan militer AS di Okinawa. Dalam kampanye tahun lalu, Hatoyama berjanji akan memindahkan pangkalan militer AS ke luar Pulau Okinawa, kalau perlu ke luar wilayah Jepang.
Namun, ketegangan antar-dua Korea dan makin aktifnya angkatan laut China menjadi dasar Hatoyama mempertahankan pangkalan AS di Okinawa. Pantaslah dirinya mundur karena tidak mampu menepati janji kampanyenya untuk memindahkan pangkalan militer AS di Okinawa, meskipun dengan alasan untuk mempertahankan keamanan dalam negeri. Rakyat Jepang sudah tidak percaya dengan janji Hatoyama lagi dan dia sebagai pemimpin haruslah mundur.
Presiden Jerman,Horst Koehler mundur karena pernyataannya mengenai keterlibatan tentara Jerman Bundesweshr di Afganistan. Horst Kohler menyatakan alasan pengunduran dirinya adalah akibat gencarnya kritikan yang ia terima setelah menyampaikan pernyataan mengenai misi tentara Jerman Bundeswehr.
Sesaat setelah melakukan kunjungan di Afghanistan, dalam sebuah wawancara dengan sebuah stasiun radio, Kohler mengatakan, bahwa untuk mengamankan kepentingan ekonominya, Jerman harus ‘mengikutsertakan’ militernya. Akibatnya, pernyataan Kohler ini mengundang reaksi keras di Berlin. Partai Sosial Demokrat, Partai Hijau dan Partai Kiri Die Linke mengecam keras pernyataan presiden Jerman ini. Horst Koehler pun menjadi Presiden Jerman pertama yang mundur.
Ada pelajaran yang pantas kita petik dari pengunduran pemimpin itu. Keduanya mundur karena tidak lagi mampu mengemban tanggung jawab yang dipercayakan rakyat kepadanya. Keduanya malu sehingga musti mundur karena gagal memenuhi amanat yang diberikan rakyat. Mundur adalah pilihan terbaik dirinya yang didedikasikan untuk keterbaikan rakyat. Mempertahankan kekuasaan yang diemban bisa jadi adalah penghambat pembangunan bangsa. Benar-benar mundur yang bukan didasari oleh kepentingan pribadi, tetapi demi menyelamatkan harga diri bangsa.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Rasanya mundur adalah sesuatu yang terhina dan ‘sakral’. Padahal, sejarah bangsa ini sudah akrab dengan pengunduran diri pemimpinnya. Bedanya, bukan secara pribadi karena malu tak bisa mengemban amanah rakyat, tetapi ‘memalukan’ sehingga diturunkan secara paksa oleh rakyat maupun perwakilan rakyat.
Lalu, melihat realitas saat ini, sudahkah pemimpin yang berkuasa telah berhasil mengemban amanah yang dipercayakan rakyat? Indikator mudahnya adalah kesesuaian antara janji-janji yang diucapkannya saat kampanye dulu dengan realitas kekinian. Sudah adakah yang sesuai? Mungkin ada, tetapi secara garis besar kita patut skeptis pada upaya merealisasikan janji kampanyenya dulu. Kebanyakan janji-janji manisnya masih sebatas menjadi manisan yang belum dikunyah para rakyat.
Nyatanya, korupsi yang menjadi tema sentral pemerintahan penguasa saja saat ini, ternyata upaya-upaya pemberantasannya masih jauh api dari panggang. Malah yang terjadi, pemberantasan korupsi mengalami degradasi upaya. Ironis memang, tetapi inilah kenyataannya.
Masih jelas terngiang di benak kita bagaimana upaya pelemahan sistematis KPK, lembaga pemberantasan korupsi, oleh para koruptor, yang sampai saat ini malah dimenangkan koruptornya. Kasus BLBI? Kasus Century? Seakan semuanya hanya menjadi bumbu media massa yang dibiarkan tanpa penyelesaian. Hanya berpindah dari isu satu ke isu lain, yang pastinya semuanya adalah masalah dan masalah.
Kalau menjadi pemimpin yang tidak bisa lagi mengemban amanah rakyat, mungkin di Jepang atau Jerman sudah mundur sukarela karena malu kepada rakyat. Namun, ini Indonesia bung! Tak perlu malu seorang pemimpin terhadap rakyatnya karena rakyat tak akan berontak sejalan saluran aspirasinya di parlemen terhambat. Apalagi, telah terjadi status quo yang terlalu kuat membela pemerintah setelah Sekretariat Bersama ada. “Penguasa yang perlu dibela bukanlah rakyat yang dibela”. Inilah tagline yang mungkin ada di benak para parlemen absurd. Padahal seharusnya mereka menekan dan mengarahkan penguasa agar lebih berpihak kepada rakyat.
Tentu, mundur bukanlah perkara gampang di Indonesia seperti di Jepang atau Jerman. Alasannya, negeri yang akut terjerat utang ini untuk memilih pemimpinnya saja butuh triliunan rupiah yang dibiayai oleh utang pula. Kok yang malah dipilih seenaknya mundur. Mana rasioanalitasnya? Pikir cost-benefitnya dong! Demokrasi di Indonesia adalah salah satu bentuk yang paling demokratis di dunia, kok malah dipertanyakan lagi. Biaya demokrasi tak masalah mahalnya minta ampun, yang penting demokratis sesuai kehendak rakyat (?).
Tapi pernahkah kita berpikir bahwa jangan-jangan sistem demokrasi yang didesain saat ini bukanlah untuk kebaikan rakyat negeri ini, melainkan rakyat negeri lain (baca: pemerintah asing, kaum kapitalis asing, dll). Kegundahan ini muncul semata-mata untuk mempertanyakan kenapa ongkos demokrasi di Indonesia sungguh mahal dan pelaksanaannya rumit. Belum lagi proses demokrasinya yang selalu memunculkan kisruh, entah antara negara dengan rakyat ataupun rakyat dengan sesama rakyat. Jangan-jangan ini adalah demokrasi yang didesain untuk menghalangi tanggung jawab moral kepada rakyatnya.
Sampai-sampai seorang pemimpin untuk mundur sangatlah susah. Alasannya, banyaklah dari A sampai Z, yang akhirnya bermuara lebih karena desain sistemnya yang memang tak memungkinkan pemimpin untuk mundur sekehendak hatinya secara bertanggung jawab. Padahal, jelas-jelas alasan untuk mundur secara moral sudah terpenuhi: gagal memenuhi janji-janji kampanyenya kepada rakyat.
Memang sistem demokrasi kita saat ini tak memungkinkan untuk seperti itu. Namun, tetap saja beralih dari demokrasi juga bukanlah pilihan terbaik. Bukan berarti kita lantas meninggalkan demokrasi lantas beralih kepada sistem monarki absolut. Hanya saja demokrasi yang kita pilih, perlu memunculkan probabilitas kuat seorang pemimpin untuk mundur karena kegagalannya memenuhi janji-janji kepada rakyat.
Ini memang seakan persoalan sepele. Dan pasti sepele. Namun, bukankah adanya kesempatan untuk mundur sukarela juga bisa menjadi cerminan bahwa pemimpin kita masih memiliki rasa malu jikalau gagal. Pada akhirnya, bangsa ini pun bisa tumbuh lagi rasa malu yang saat ini kian memudar. Sayangnya itu perlu perjuangan keras mengubah fundamental demokrasi kita. Atau kita perlu reformasi kedua?