Buku, pijakan untuk memperkuat budaya literasi mahasiswa |
Secara awam, mahasiswa selalu identik dengan sematan kelompok yang memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi. Ini tidak salah karena kesempatan untuk memperoleh intelektualitas itu memang paling lapang dimiliki oleh para mahasiswa.
Kaum mahasiswa lah yang memiliki akses terluas untuk bercengkerama dengan hal-hal yang ilmiah. Dari aktivitas pembelajarannya di perguruan tinggi, mereka lah yang paling bisa mendapatkan ilmu-ilmu yang terbangun atas teori dan asumsi. Kesempatan berinteraksi dengan akademisi dan pakar turut pula memperkokoh jiwa intelek mahasiswa. Ini lah yang menjadi alasan mengapa seseorang harus bangga ketika berhasil menyandang status mahasiswa karena terbukanya akses atas ilmu pengetahuan.
Tentunya sebuah kebanggaan tidak begitu saja ada tanpa adanya kewajiban yang menyertainya. Kebanggaan pasti berkorelasi pada tanggung jawab. Relasi yang dekat antara ilmu ini dengan tanggung jawabnya menelurkan sematan baru pada mahasiswa, yaitu sebagai agen perubahan. Tentu yang dimaksudkan sebagai perubahan ini adalah menjurus ke arah kemajuan bangsa yang beradab. Mahasiswa harus menanggung tanggung jawab yang besar atas kemajuan bangsanya karena di dadanya tersematkan sebutan agent of change, agen perubahan. Mahasiswa harus senantiasa mampu membawa bangsa ini lebih baik, lebih maju dan lebih bermartabat.
Pemahaman untuk menjadi kaum intelektual dan agen perubahan tentunya tidak datang langsung sekejap saja. Perlu proses dan pengalaman yang panjang. Sosok intelektual perlu diasah dengan pembelajaran terus menerus tanpa henti untuk pelakunya, yaitu dalam hal ini mahasiswa. Namun, apakah setiap mahasiswa sudah mengetahui secara pasti bagaimana cara membentuk sifat intelek itu.
Sayangnya, untuk mendapatkan nutrisi intelektualitas ini, para mahasiswa belum paham betul pada pintu masuk utamanya. Tidak semua mahasiswa mafhum bahwa budaya literer sejatinya adalah inti untuk membentuk intelektualitas-nya. Padahal, budaya literer ini secara sederhana adalah kebiasaan seseorang atau masyarakat dalam bidang baca dan tulis. Bagi mahasiswa yang merupakan agen perubahan, budaya literer tentu adalah kawan akrabnya, sahabat sejatinya. Intelektualitas dan wawasan luas pasti berkorelasi positif. Oleh karena itu pembelajaran mahasiswa dengan berakar pada literasi mutlak dilakukan.
Budaya literer mahasiswa secara umum mencakup tiga poin utama yaitu, budaya untuk membaca, berdiskusi dan menulis. Tiga poin ini harusnya berjalan dengan beriringan dan kait mengait agar pembelajaran mahasiswa dapat dilaksanakan secara komprehensif, tidak terpisah-pisah atau parsial.
Untuk menggambarkan alur budaya literer ini mungkin bisa dijelaskan pada pemahaman masing-masing poinnya. Pertama, budaya literer dibangun berlandasakan budaya membaca. Tentunya, seorang mahasiswa agar bisa mengetahui suatu masalah adalah bermula dari membaca. Budaya membaca pada mahasiswa dan masyarakat Indonesia memang belumlah seintensif negara maju. Padahal, fasilitas insfrastruktur baca yang disediakan kampus dan pemerintah sudah lumayan banyak. Oleh karena itu, perlu gerakan masif untuk menggalakkan kesadaran budaya baca ini.
Berikutnya adalah budaya diskusi. Diskusi memang adalah budaya lisan, tetapi keberadaan diskusi ini mau tidak mau akan mendorong kita untuk membaca buku lebih banyak demi menunjang materi dan pengetahuan atas diskusi itu. Akhirnya budaya baca mahasiswa pun bisa terangkat jikalau budaya diskusi mahasiswa menjamur di kampus.
Poin terakhir adalah budaya menulis. Jujur saja, inilah yang paling memprihatinkan dari mahasiswa Indonesia dan mungkin juga di FEB UGM ini. Hasrat mahasiswa menuliskan ide pikiran selain berhamba untuk tugas masihlah rendah. Padahal, kemajuan peradaban suatu bangsa dapat tercapai karena masyarakatnya gemar untuk menggoreskan buah pikirannya dalam bentuk tulisan. Pikiran yang terekam dalam tulisan akan abadi sepanjang zaman. Nah, mahasiswa sebagai agen perubahan tentu harus menjadi inisiator tradisi menulis ini.
Harapannya, melihat dunia dewasa ini yang semakin kompetitif, tentu dibutuhkan upaya untuk memenangi persaingan global ini. Syarat utama agar suatu negara bisa menang adalah kemampuan masyarakatnya untuk berliterasi diperkuat. Pun juga dengan mahasiswanya. Sebagai agen perubahan yang intelek, sudah sepantasnya budaya literer ini secara masif dibudayakan oleh mahasiswa. Demi indonesia yang lebih beradab, kaum mahasiswa harus lapar membaca, gencar berdiskusi dan gemar menulis.