Zaman telah berubah. Sekarang segala hal telah mengalami perubahan orientasi menuju industrialisasi dan komersialisasi. Kapital menjadi unsur yang yang tak terelakkan pada segala bidang kehidupan, tak terkecuali dalam ranah pers dan media. Kapital sendiri dapat menjamah dunia pers karena sebagai imbas dari globalisasi yang telah merasuk ke dalam sendi-sendi masyarakat. Bagi insan pers, kapitalisasi media merupakan ancaman yang nyata terhadap hakikat pers sebagai penyuara kebenaran. Idealisme yang selalu menjadi identititas kebanggaan pers kini pun nyaris terlupakan dan ironisnya hanya tinggal dimiliki segelintir orang saja.
Tokoh Pers Indonesia, Rosihan Anwar, pernah menyatakan bahwa idealisme pers sekarang sudah berada pada tahap sekarat. Artinya pers saat ini bukan lagi sebagai pers perjuangan yang membela kepentingan rakyat kecil tetapi sudah menjadi pers kapitalis, milik para pemodal dan pebisnis. Industri pers sudah dikuasai, dimiliki, dan dikendalikan oleh para pemodal dan pebisnis besar sehingga industri pers sudah menjadi industri komersial untuk mencari keuntungan dan kepentingan ekonomi belaka.
Pantas kita cermati, dunia pers sekarang telah menyimpang dari apa yang seharusnya mereka perjuangkan. Secara internal, pers saat ini, selain lebih banyak bekerja untuk kepentingan para pemodal dengan mencari keuntungan, juga dikelola dengan cara-cara komersial yang menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Industri pers sekarang terutama media penyiaran tidak peduli lagi dengan kualitas penyampaian, demikian juga media cetak tidak lagi peduli dengan kualitas pemberitaan. Media-media pers lebih banyak memperhatikan rating dan berapa banyak oplah koran yang terjual.
Selain itu, media telah beranalogi kepada struktur pasar. Hal ini bermakna bahwa jurnalis tidak lebih sekadar sebagai buruh yang bekerja bagi pemilik modal. Ketika jurnalis berperan sebagai buruh, maka yang paling menentukan kehidupannya adalah kalangan pemilik modal. Dan, karena jurnalis sudah disesaki oleh berbagai perhitungan yang bercorak kapitalistik, maka jurnalis dalam melihat dan memberlakukan masyarakat pun tidak lebih sebagai sasaran pasar (target market).
Masyarakat pun diposisikan sebagai konsumen dengan perhitungan jurnalisme yang bernyawa pada "berikan pada konsumen apa yang mereka inginkan" (give they, consumer, what they want), dan bukan pada semangat "berikan pada publik apa yang mereka butuhkan" (give the public what they need). Jika masyarakat telah ditempatkan sebagai konsumen, dan bukan publik, maka apa yang dinamakan sebagai misi jurnalis untuk mencerdaskan dan memberikan pencerahan bagi masyarakat pun, akan tinggal sebagai memori masa silam yang manis untuk dilupakan. Jurnalis pun tidak mampu mengelak untuk berperan sebagai produsen pemberitaan yang telah berlaku sebagai komoditas.
Lantas, siapa yang paling diuntungkan dalam kehidupan pers yang sepenuhnya ditentukan oleh struktur kekuasaan pasar? Sekali lagi, para pemilik modal! Kalangan penguasa ini jelas tidak sudi untuk disebut sebagai kaum kapitalis, karena memiliki makna yang sedemikian peyoratif. Mereka lebih senang dan merasa terhormat untuk diberi julukan sebagai investor atau pelaku bisnis. Perhitungan yang digenggam oleh pemilik modal itu seolah-olah hanya sebatas pada penumpukan modal (accumulation of capital) serta mengeruk keuntungan secara maksimal (maximizing profits).
Dalam ranah penyampaian opini publik, para pemilik modal pula lah yang menjadi penentu untuk mendesakkan kepentingan-kepentingan bisnis mereka sendiri. Sehingga, apa pun yang diopinikan oleh kalangan pemilik modal seakan-akan menjadi cerminan yang sempurna dari berbagai aspirasi masyarakat. Dalam lingkup persoalan ini, Jurgen Habermas sudah memberikan sinyalemen, yaitu ketika pers menjadi sedemikian tergantung pada periklanan komersial dan dukungan permodalan, perhitungan-perhitungan ekonomis pun menjadi hal yang paling dipertimbangkan. Ini berarti kalangan individual yang mampu mengontrol kapital lah yang akan menentukan opini publik.
Pers sebagai ruang publik (public sphere) bagi keberlangsungan interaksi dan pertarungan gagasan yang bebas dari dominasi penguasa untuk menghasilkan opini publik yang sejati, ternyata, sudah digerogoti oleh para pemodal itu sendiri. Hebatnya, kalangan penguasa bisnis ini tidak berwajah sebengis penguasa negara, karena mereka melakukannya secara halus (subtle) dengan mekanisme kepemimpinan moral dan intelektual (hegemoni). Inilah yang menjadi keuntungan menjadi penguasa media karena bisa menjadi penguasa opini publik.
Contoh yang nyata dalam penggiringan opini publik pada satu kepentingan adalah terkait dalam kasus runtuhnya WTC. Seluruh dunia dibombardir dengan pemberitaan media massa dunia yang menyatakan Osama bin Ladin adalah dalang serangan teroris WTC. Akibatnya, sosok Osama pun dicap jelas sebagai buruan nomor wahid Amerika padahal dugaan seperti itu belum dapat dibuktikan kesahihannya.
Pada kasus dalam negeri, kasus Bom Bali adalah contoh di mana media massa cenderung membentuk opini yang hanya menguntungkan sepihak saja. Padahal pemberitaan yang benar adalah pemberitaan yang berkeadilan dan independen. Media massa, baik lokal maupun nasional bahkan internasional, secara serempak menuding Amrozi cs sebagai dalang Bom Bali I. Tak berimbang dengan informasi yang menunjukkan keanehan persidangan yang terjadi pada mereka maupun informasi yang menunjukkan bahwa banyak pakar yang tak percaya kalau Amrozi cs pelaku Bom Bali I sebenarnya.
Fakta empiris menunjukkan, objektivitas media massa merupakan hal yang nisbi, malah fakta berbicara bahwa setiap media massa, baik cetak maupun elektronik, mempunyai visi dan misi tersendiri yang mempengaruhi pemberitaan di media massa tersebut. Visi dan misi setiap media massa, yang tentu dibuat oleh pemilik media massa tersebut, acapkali terpengaruh oleh satu ideologi tertentu. Media massa kemudian dijadikan corong untuk menanamkan ideologi tersebut di masyarakat melalui pemberitaan atau wacana yang dikembangkan dari sudut pandang ideologi tersebut.
Kembali ke jalan yang benar
Disadari atau tidak, pada era modern ini di mana berita telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat dunia, media informasi tumbuh menjadi lahan penghidupan yang dilirik dan digeluti banyak orang. Media-media baru banyak didirikan baik itu dalam skala kecil atau besar, berorientasi idealistis atau profit, bertujuan pencitraan atau independensi informasi, maupun menjadi alat kuasa atau pengkritik pemerintah. Kuantitas media sangat banyak dan beragam jenisnya dan tentu memiliki tujuan yang berbeda-beda pula.
Dari data Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) pusat, per Juni 2008 terdapat 1.008 penerbit media cetak di seluruh Indonesia. Itu pun dari yang terdaftar. Belum lagi kuantitas media televisi yang mencapai belasan kanal. Hal demikian tentu menimbulkan persaingan yang sangat ketat dari para pelaku media. Oleh karena itu, suatu media cetak mau tidak mau membutuhkan banyak modal agar dapat bersaing menjadi yang terbaik di hati masyarakat. Tentu kita tidak mengharapkan adanya kebangkrutan media massa yang berimbas pada pemutusan kerja karyawannya.
Dunia pers tidak akan mampu menghindar lagi menuju pers yang komersil karena realita peradaban memang telah bergeser ke arah modernitas yang menjurus industrialisasi. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana menyikapi kondisi tersebut sejalan dengan konsep idealisme yang menjadi roh murni pers. Perubahan posisional pers di atas jelas merupakan sebuah tantangan besar, yang apabila tidak disikapi dengan hati-hati, maka eksistensi pers bisa terjebak dalam komersialisme yang melupakan idealismenya.
Oleh karena itu, kita perlu mewacanakan sebuah paradigma baru atas jagat pers. Suatu pers yang hidup di era modern harus memadukan antara idealisme dengan modal. Idealisme tanpa uang tidak akan jalan demikian juga uang tanpa idealisme akan tanpa arah. Pers yang kuat adalah pers yang memiliki idealisme dengan kapital yang kuat pula. Maksudnya, idealismenya pers sebagai entitas yang bekerja untuk kepentingan umum (publik) tidak terintervensi lagi dengan mindset bekerja untuk pelaku bisnis. Singkatnya, pers adalah pelayan publik bukan pelayan individu, golongan bahkan pemerintah.
Karena fungsinya adalah pelayan publik atau masyarakat, maka sudah seharusnya pers kembali menjalankan fungsi-fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial (fungsi pers dalam pasal 3 Undang-Undang No 40/1999 tentang Pers). Fungsi-fungsi itu tentu harus dijalankan tidak lagi dengan berkiblat pada permintaan pemilik modal yang hanya profit-oriented , tetapi sungguh-sungguh ditekankan pada usaha pencerdasan dan peningkatan mutu masyarakat selaku obyek tujuan pengabdian pers.
*) Dibawakan dalam diskusi HMI Komisariat Ekonomi UGM, 4 Maret 2010