Memburu Sunrise di Kebun Buah Mangunan

Januari 18, 2010

Menyambut pergantian malam dan siang di Kebun Buah Mangunan

Bagaimana jika memulai ‘jalan-jalan’ di waktu dini hari? Sepi dan sunyi, belum ada kehidupan manusia yang bergeliat di jejalanan. Mungkin hanya sesosok atau beberapa insan saja yang ‘rela’ meluangkan waktu tidurnya yang nyaman di empuknya tempat tidur untuk mengarungi dinginnya pagi dini hari.

Sesekali, realitas seperti itu menariklah untuk dicumbui. Dicoba dan diresapi substansinya. Itulah yang lalu dialami beberapa penggiat CLR: Jauhari, pasangan Wana-DA, Kinkin dan saya pada Rabu, 12 Februari lalu. Disaat sebagian manusia terlelap dengan tidurnya, kelima orang ini pergi ke alam yang sunyi: mencumbui pagi hari yang dingin di sebuah tempat tinggi.

Bermodalkan alasan untuk menemui sang matahari ketika ‘sunrise’ di Kebun Buah Mangunan, Dlingo, Bantul, kami sepakat memulai perjalanan pukul 03.00 WIB, berkumpul di kontrakan ‘Bahagia’. Empat orang berkumpul: Wana dan saya (pemilik kontrakan), DA dan Kinkin, memulai perjalanan 03.20 WIB, molor 20 menit. Satu orang lagi ‘tetua CLR’, Jauhari sudah berangkat dari rumahnya dan akan bertemu di Terminal Giwangan- walaupun akhirnya ketemunya di Imogiri.

Ya, perjalanan pagi dini hari memang menyenangkan. Temaram lampu mengiringi sepanjang perjalanan dengan berbalut udara yang sungguh fresh, bersih -sungguh nyaman untuk dihirup sambil berkendara. Hanya sesekali ada kendaraan berpapasan menuju Yogyakarta, entah itu mobil pengangkut buah dan sayur atau entah itu hanya manusia-manusia pengendara yang menggantungkan hidupnya di kota. Berempat orang, berdua motor: pasangan Wana-DA dan aku membonceng Kinkin, hanya memacu 30-40 km/jam dalam perjalanannya.

Imogiri, sebuah kota yang lekat dengan histori Keraton Yogyakarta karena merupakan wilayah tempat makam raja-raja Mataram-Yogyakarta, berhasil kami rengkuh setelah berperjalanan sekitar 70 menit. Cukup lama memang, selain sengaja tidak cukup kencang memacunya, juga seringkali kami berhenti-henti di jalan.

Berhentilah kami di sebuah masjid untuk sejenak berpresensi kepada Allah SWT sekaligus berdoa agar setiap langkah kami benar-benar ridha di jalan-Nya. Masjid itu telah sepi ditinggalkan para penggiatnya, yang ketika kami datang, kami berpapasan dengan mereka. Notabene mereka adalah berpasang-pasang kakek nenek yang bersahaja di hari tuanya. Kaum muda, merasa masih panjang umurnya, masyhuk tertidur di ranjang hangatnya. Ya, begitulah peradaban sebagian besar kaum muda, meremahkan Tuhannya ketika masih muda, baru mendekatkan sedekat-dekatnya di kala tua, kecuali anak muda yang sudah peduli dengan Tuhannya semejak muda.

Selesai sholat, kami lanjut melangkah menuju Mangunan dan bertemu dengan Jauhari dan motor setianya di seberang jalan kantor Camat Imogiri. Akhirnya, kami pun menjadi berlima, sesuai rencana awal. Bergegaslah kami menuju cita-cita pagi itu.

Kami pun mulai mendaki perbukitan Gunung Kidul. Jalan menanjak yang berpadu dengan kelokan-kelokan, baik tumpul maupun tajam. Dengan aspal yang mulus dan sesekali ada lubang-lubang kecil, kami pun nyaman menikmati perjalanan yang menyegarkan. Langit kemerahan di ufuk timur mulai terlihat walaupun warnanya masih sangat malu-malu diredam pekatnya hitam malam. Sesekali menengok ke bawah, lautan lampu masih menyala berkelap-kelip. Ayam jago pun tak kalah menyambut pagi dengan kokokkannya yang saling bersahutan

Akhirnya, pintu gerbang Kebun Buah Mangunan kami capai. Kosong melompong tak ada kehidupan di tempat masuk agrowisata itu. Ya, jelaslah! Saat itu masih pukul 05.05. Mana ada tempat wisata yang sudah buka saat itu? Yang ada pun hanyalah kabut tipis yang membuat perjalanan ini terasa menantang. Walaupun pintu gerbang tertutup, tetapi ada celah motor untuk masuk di sampingnya. Kami pun masuk dengan leluasa tanpa membayar, Gratis! Di kejauhan terlihat sesosok bapak yang sedang membersihkan serpihan daun dan kemudian dia mendekat. Kami pun menyapanya dan minta izin untuk masuk ke tempat melihat sunrise. “Monggo”, begitulah jawaban yang disampaikannya sambil membuka portal kecil.

Kami pun tak sabar ke tempat impian itu. Setapak-setapak menuju tempat itu kami langkahi ditemani cahaya yang masih prematur. Alhasil, kegelapan menjadikan perjalanan itu ekstra waspada. Saya dan Jauhari di depan, sedangkan sisanya bertiga di belakang. Setelah ratusan anak tangga didaki, akhirnya sampailah di tempat impian itu: Puncak Kebun Buah Mangunan.

Sebuah garis vertikal memotong cakrawala. Anugerah fajar.

Awan rajin berarak menyambut pagi.

Kulihat langit timur sudah merona merah, pertanda matahari tidak lama lagi menyembul ke dunia. Ada garis lurus yang tertarik vertikal ke atas dari bawah bumi menuju langit luas di saat langit memerah. Garis itu tetaplah berwarna sama dengan langit yang biru kehitam-hitaman. Tak tahu itu karena apa sebabnya. Bagiku itu fenomena alam yang menarik dan jarang terlihat. Wallahu’alam. Wana dan Jauhari tak henti-hentinya memotret fenomena itu. Saya hanya takjub den sesekali menjadi obyek foto mereka.

Yang lebih mencengangkan lagi adalah hamparan kabut tebal di bawah. Kabut tebal itu menjadikan daerah cekungan yang ada di bawah Kebun Mangunan laksana danau yang indah. Hamparan kabut itu semakin indah ketika melihat di tengah-tengah kabut itu sekan-akan terjun dari dua sisi. Lantas kami pun menyamakannya seolah-olah bak air terjun. Ini terjadi mungkin karena di bawah sana terdapat sungai yang mengalir membelah pegunungan Gunung Kidul, kalau tak salah Sungai Oyo.

Selain untuk melihat indahnya sunrise yang indah, di Kebun Buah Mangunan kami juga bermaksud melihat pemandangan di bawah sana yang indah. Bahkan, salah satu teman CLR yang pernah ke tempat ini dengan bangga mengatakan, pemandangannya seperti di Grand Canyon, tetapi dengan deretan pegunungan yang hijau menyejukkan mata. Berhubung kabut tebal masih menghiasi pemandangan itu, kami pun bersabar menanti sembari tetap melihat ke arah timur menunggu momen tepat matahari menyembulkan wajahnya.

Akan tetapi, romantisme itu pun sirna. Tiba-tiba kabut yang diharapkan segera menghilang, malah naik dengan liar ke puncak gunung. Untuk sementara harapan itu pupus dan beranggapan kalau kejadian ini akan persis sama seperti yang dialami saat berburu sunrise ke Suroloyo. Kami pun sempat bercanda kalau Mangunan ini akan menjadi Suroloyo part II.

Namun demikian, tak berlama-lama diterpa kabut yang ‘jahat’, ufuk timur pun terlihat dan matahari telah menjulang menampakkan dirinya. Ini artinya, matahari telah terbit. Walaupun tak melihat step by step, kami merasa sangat bersyukur bahwa datang ke Mangunan tidaklah sia-sia. Kami sempat berfoto bersama panorama sunrise yang begitu indah dan mencengangkan. Kabut pun perlahan-perlahan turun lagi. Keoptimisan untuk melihat pemandangan ‘grand canyon’ terjunjung tinggi lagi. Sayangnya, waktu yang dinanti pun tak kunjung tiba. Kabut tetap menutupi pemandangan bawah dan sesekali naik ke puncak dimana kami tetap bersetia menunggu saat yang luar biasa tiba: melihat pemandangan bawah dari Kebun Mangunan.

Akhirnya, ‘kesabaran’ kami habis. Waktu sudah menunjukkan pukul 06.37, yang berarti matahari sudah tinggi dan panas. Kami pun turun ke tempat motor ‘tergeletak’. Di perjalanan kami berjumpa dengan naga kecil. Ya, ulat (apa namanya lupa) yang berbentuk layaknya naga menggantung-gantung di depan jalan yang kami lewati. Kami berhenti sejenak dan memperhatikannya yang seolah-olah ‘narsis’ ketika dijepret Wana. Pantas disebut narsis karena selalu bergoyang-goyang ketika akan dijepret.

Perut kami telah nyaring berbunyi. Artinya lapar sudah mendera dan harus segera mencari warung makan. Kami pun kembali ke Imogiri untuk mencari makan. Karena masih pagi, masih sedikit warung yang sudah buka. Kami akhirnya makan soto dan gado-gado di warung dekat Pasar Imogiri. Ya semangkuk soto berharga 5000 rupiah cukup untuk mengganjal perut di pagi itu sekaligus untuk sarapan di awal hari.

Karena melihat langit yang cerah dan bersih, kami pun memutuskan bertamasya sehari sekaligus penuh. Destinasi berikutnya dipilihlah Pantai Ngobaran, Gunung Kidul, sebuah pantai pasir putih yang sangat asri dengan dikelilingi batu karang yang menjulang tinggi. Dari Imogiri, bisa ditempuh sekitar 1,5 jam via Panggang. Jalannya berkelok-kelok khas pegunungan dengan sedikit kehidupan manusia di sekeliling jalannya. Semua perjalanan yang sempurna untuk sejenak melarikan diri dari kekejaman rutinitas dunia. Itulah ungkapan biasa, seperti yang diungkapkan para penggiat CLR…


Ray of Light sebuah pagi di Kebun Mangunan by @wana23
Pemburu Sunrise Mangunan
Sang ulat 'Naga' penghuni Mangunan. Foto: @wana23


You Might Also Like

9 komentar

  1. http://sewamobil-rentaljogja.com/ menyediakan mobil-mobil dengan berbagai tipe, mulai dari SUV keluarga, mobil kelas Travel, dan mobil mewah. Sebagai maestro rental mobil jogja, kami menyediakan mobil-mobil berkualitas dan terawat, harga yang kami tawarkan sudah termasuk bahan bakar dan supir/driver yang. Kami juga melayani berbagai paket wisata yang akan dipandu oleh driver/sopir kami yang ramah dan sangat berpengalaman di Jogja dan sekitarnya.

    BalasHapus
  2. Mas, kondisi jalan seperti apa? Gelap tanpa penerangan kah?

    BalasHapus
  3. Kalau bawa mobil untuk mengejar sunrise ditempat ini, bisa kah mas?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa banget mas Ilham. Akses langsung ke tempat parkir yang nyaman.

      Hapus
  4. Cerita yang menarik untuk disimak, menjelajah Kebun Buah Mangunan dengan keindahan matahari terbitnya. Terus menulis kawan. Semoga sehat selalu.

    BalasHapus
  5. Huwwaa aku belum pernah ke mari pengen segera dolan ke sana

    BalasHapus
  6. The sunset is adorable. I think, it would be good wallpapers for Windows. You are a very lucky person, that you managed to see it with your own eyes.

    BalasHapus
  7. Kok mas Iqbal jarang nulis" lagi

    BalasHapus

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK