Maraknya kekerasan di Indonesia. (vivanews.co.id) |
Jujur diakui, budaya kekerasan mengakar kuat dalam keseharian hidup masyarakat kita. Kekerasan menjadi potret suram yang tak bisa dengan mudahnya dihapuskan dari alur pikir masyarakat. Sudah menjadi realita bahwa kekerasan terus terproduksi karena banyaknya kekuatan tidak harmonis dalam masyarakat. Mustahil mempunahkan kekerasan jika kekuatan-kekuatan yang memproduksi kekerasan masih terus timbul.
Kekuatan penyulut kekerasan umumnya bisa terjadi pada obyek yang berstruktur tidak seimbang. Ada satu pihak yang memiliki kekuatan atau kekuasaan lebih tinggi dibandingkan lainnya. Kasus suami menyiksa istri dan anaknya atau kasus majikan menganiaya sahayanya adalah cerminan kekerasan resultan kekuasaan.
Parahnya, yang terjadi pada masyarakat adalah kekerasan itu direproduksi menjadi kekerasan lain. Kekerasan melahirkan kekerasan, dan begitu seterusnya hingga terbentuklah roda kultur kekerasan yang berputar tiada hentinya. Yang kuat menindas yang lemah, yang lemah melampiaskannya pada yang lebih lemah atau dengan cara lain, yaitu mencari kesempatan membalas terhadap kekerasan yang dialaminya.
Budaya kekerasan yang telah beranak pinak ini memang tidak mudah untuk dicerabut dari kehidupan masyarakat kita. Perlu usaha bertahap dan menyeluruh dari segala komponen masyarakat. Usaha yang ditempuh harus dimulai dari hal yang paling mendasar, yaitu: pembentukan individu yang anti-kekerasan
Cara yang bisa dilakukan adalah dengan menggiatkan pendidikan nirkekerasan pada tiap individu. Hal ini dilandasi pada kenyataan bahwa masyarakat sekarang cenderung kurang arif dan kreatif dalam menghadapi kerunyaman hidup. Kekerasan seolah menjadi manifestasi sikap umum pada masyarakat jika terjadi pergesekan kehidupan. Pendidikan nirkekerasan adalah jalan mencegah sekaligus meminimalisasi budaya kekerasan yang mungkin akan terjadi.
Pendidikan nirkekerasan juga harus disokong dengan peran berbagai pihak, termasuk media massa. Selama ini, media massa menjadi pendorong terciptanya norma dan perilaku baru melalui informasi yang disampaikan.
Tak jarang pula, pemberitaan kekerasan kepada khalayak umum menjadi hal lumrah bagi media. Hal ini berimplikasi pada pembentukan budaya yang buruk karena media bisa saja menjadi tool yang meracuni alam pikiran masyarakat dengan pemberitaan kekerasannya. Maka, sudah sepatutnya khittah media massa sebagai alat edukasi masyarakat harus dicitrakan lagi secara positif.
Terakhir, pemerintah wajib menjadi inisiator penumbuhkembangan budaya welas asih melalui kebijakannya. Caranya, pemerintah selalu mengutamakan aspek kesejahteraan lewat kebijakan yang pro-rakyat. Logikanya, kultur kekerasan akan perlahan pudar jika hajat hidup rakyat yang selama ini sering memicu kekerasan telah ‘dipenuhi’ pemerintah. Harapannya, sikap welas asih negara pada rakyatnya mampu memberi jalan solusif pada penghentian putaran roda kultur kekerasan dalam masyarakat.