Anggaran!
Mei 19, 2009Kampus FEB UGM |
Membuat sebuah program tak sahih tanpa menyusun anggarannya. Anggaran yang tersusun merupakan perwujudan dari berapa dana yang dibutuhkan untuk membiayai suatu program agar bisa berjalan. Program tanpa anggaran adalah imaji tak terimplementasi. Anggaran adalah katalisator inti terselenggaranya program yang telah dirancang sedemikian rupa oleh penggagasnya untuk mencapai suatu tujuan.
Anggaran bisa juga merupakan kontrol untuk memastikan suatu program terlaksana dengan baik. Program yang baik adalah yang tepat sasaran sesuai tujuannya dengan menggunakan dana yang telah dianggarkan.
Suatu negara, organisasi, perusahaan ataupun kumpulan manusia lainnya yang memiliki tujuan adalah entitas yang memiliki program dan mengimplementasikan programnya itu dengan anggaran sebagai patokannya. Sebaik apapun program yang telah dibuat tapi tanpa dana anggaran yang memadai, hasil yang dicapai tentu tidak akan optimal. Yang terjadi mungkin implementasi program sebatas pada capaian minimumnya. Namun, ada kalanya program mampu terlaksana secara efektif dengan menggunakan dana yang lebih minim dari anggarannya karena program dilaksanakan secara ‘mati-matian’ memampatkan dana yang ada. Atau bisa juga karena anggarannya telah di-markup terlebih dulu sebagai pengantisipasian di awal.
Suatu negara telah lazim mengkorelasikan program dan anggarannya lewat APBN-nya. Setiap tahun selalu disusun RAPBN yang kemudian bisa disahkan menjadi APBN untuk mendanai program-program pemerintah. Program dan anggaran negara dalam APBN merupakan kesatuan yang terintegrasi. Ini sebuah contoh awam sebuah program dan anggaran terkoneksi.
Pun, di dalam organisasi kemahasiswaan yang merupakan wadah para mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan intelektualitasnya di berbagai bidang sesuai minatnya, program dan anggaran adalah ibarat aur dengan tebing, tak terpisahkan. Program-program organisasi bisa terimplementasikan jika ada pula anggaran yang menyertainya. Memang, anggaran untuk organisasi adalah contoh yang sederhana dan mudah jika dibandingkan dengan anggaran negara (APBN) ataupun anggaran korporasi bisnis. Namun, ini sebuah pengejahwantahan dari upaya pembelajaran mahasiswa melalui organisasi itu sehingga tak menuntut program yang rumit ataupun anggaran yang megah.
Bersetia pada landasan pokok organisasi, setiap tahun organisasi kemahasiswaan selalu berganti kepengurusannya dan mungkin pula program-programnya sesuai inisiatif pengurusnya. Kemudian, ini menghasilkan akselerasi bagus dari organisasi kemahasiswaan yang setiap tahun semakin meningkat kuantitas dan kualitas program-programnya. Ini suatu pertanda bahwa fungsi aktualitas diri dan pembelajaran mahasiswa di dalam organisasi kemahasiswaan telah terjadi.
Dalam organisasi kemahasiswaan, anggaran pun menyesuaikan dengan programnya karena programnya dulu yang disusun baru kemudian anggarannya. Secara internal, anggaran memfasilitasi program-program yang ingin dan akan dilakukan oleh pelaku organisasi, yaitu mahasiswa-mahasiwa anggotanya. Secara eksternal, anggaran merupakan pengakuan dari eksistensi bahwa organisasi ‘masih’ ada.
Sumber dana pada anggaran organisasi kemahasiswaan adalah sebagian berasal dari pihak fakultas berupa DPP/SPP dan FOKOMA, dan sebagian lainnya diusahakan secara mandiri oleh pengurus dan anggota organisasi tersebut. Namun, terdapat beberapa organisasi yang menggantungkan sebagian besar pogram kerjanya pada dana fakultas. Ini kemudian menjelaskan bahwa kekuasaan pendanaan sesungguhnya adalah ada pada pihak fakultas dan itu umum terjadi pada setiap organisasi kemahasiswaan tingkat fakultas di manapun berada. Kekuasaan itu bukan berarti sebagai absolutisme ‘perintah’ fakultas pada program kerja organisasi mahasiswa, tetapi pada kuasa penggelontoran dana.
Dalam kaidah DPP/SPP, anggaran yang dibuat tidak terbatas pada kuota, tetapi disesuaikan dengan besaran wajar biaya yang dibutuhkan organisasi untuk menjalankan program-programnya secara berkualitas. Sebaliknya, dalam kaidah FOKOMA, dana yang didapat setiap organisasi berbasiskan pada analisis kelayakan suatu program untuk didanai oleh dana FOKOMA. Pembagian dua sumber dana itu telah dibahas beberapa bulan yang lalu dan semua organisasi telah mendapat bagiannya tersendiri.
Sayangnya, beberapa waktu lalu, sebuah berita tak menggembirakan datang pada semua organisasi mahasiswa. Dana DPP/SPP disunat oleh fakultas! Ini bak halilintar di siang bolong karena sebelumnya telah disanggupi dan tidak ada indikasi yang mengarah pada pemotongan dana DPP/SPP. Penulis, yang diamanahkan sebagai pemimpin di suatu lembaga khusus (LK) pun terkejut dan harus memutar otak untuk memperlakukan masalah ini. Penyesuaian pun harus dilakukan pada internal organisasi menghadapi ‘absolutisme’ pemotongan anggaran ini. Beberapa pos pun anggarannya harus terkorbankan sebagai tumbal atas ketidakkuasanya organisasi mahasiswa mencegah pemotongan anggaran. Saya rasa semua insan organisasi kemahasiswaan pun kelabakan dan kecewa menghadapi ‘sunatan massal’ ini.
Tak berdayanya kuasa atas dana memang potret organisasi mahasiswa yang tak mungkin bisa mandiri dalam segi dana. Andaikan pun bisa mandiri sendiri, ini bukan sebagai berita yang membanggakan bagi sebuah organisasi kemahasiswaan. Masalah legitimasi atas organisasi menjadi akar pokok organisasi tidak berdaya dalam hal kemandirian. Anggaran dari dana fakultas adalah instrumen dari legitimasi. Organisasi kemahsiswaan yang terlegitimasi di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM adalah organisasi yang mendapat suntikan dana DPP/SPP dari pihak fakultas.
Sebenarnya, pemotongan ini dapat saja dihindari jika pada waktu awal penyusunan anggaran, pihak fakultas telah menetapkan besar kemampuannya dalam penyediaan DPP/SPP untuk organisasi kemahasiswaan. Komunikasi dengan semua organisasi kemahasiswaaan juga harus terbuka luas dan transparan tidak sebatas pada perwakilan mahasiswa saja, misalkan publikasi RKAT di website. Selain itu, persepsi yang salah atas organisasi kemahasiswaan dan kegiatan kemahasiswaan juga harusnya dihindari oleh dekanat yang baru. Kegiatan kemahsiswaan tidak identik dengan kegiatan organisasi kemahsiswaan karena bisa saja mahasiswa yang tak tergabung dalam organisasi kemahasiswaan melakukan kegiatannya dengan mengatasnamakan FEB. Jika itu dipenuhi, seharusnya tak akan terjadi miskomunikasi terkait anggaran seperti ini yang mengganggu program-program organisasi kemahasiswaan.
0 komentar